Kejelasan Status Dalam Jual Beli
KEJELASAN STATUS DALAM JUAL BELI
Oleh
Ustadz Dr. Muhammad Arifin Badri MA
Pendahuluan
Alhamdulillah, sholawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, keluarga, dan sahabatnya.
Sebagai seorang muslim, tentu Anda mendambakan terwujudnya persatuan umat Islam. Dan dalam hal berwirausaha sorang muslim hendaknya menjadikan usahanya sebagai sarana mempererat tali ukhuwah, bukan sebagai sarana mencari keuntungan dunia semata. Para wirausaha muslim tentu paham firman Allah Ta’ala:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ إِخْوَةٌ
Sesungguhnya orang-orang mukmin adalah bersaudara. [Al-Hujurat/49: 10]
Dan pada ayat lain, Allah Ta’ala berfirman:
وَأَطِيعُوا اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَا تَنَازَعُوا فَتَفْشَلُوا وَتَذْهَبَ رِيحُكُمْ ۖ وَاصْبِرُوا ۚ إِنَّ اللَّهَ مَعَ الصَّابِرِينَ
Dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya dan janganlah kamu berbantah-bantahan, yang menyebabkan kamu menjadi gentar dan hilang kekuatanmu dan bersabarlah. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar. [Al-Anfal/8: 46]
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam juga telah bersabda:
لاَ تَحَاسَدُوا وَلاَ تَنَا جَشُوا وَلاَتَبَاغَضُوا وَلاَ تَدَابَرُوا وَلاَ يَبَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُونُوا عِبَادَاللَّهِ إِخْوَانًا الْمُسلِمُ أَخُوالْمُسلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ
“Janganlah engkau saling hasad, janganlah saling menaikkan penawaran barang (padahal tidak ingin membelinya), janganlah saling membenci, janganlah saling merencanakan kejelekan, janganlah seagian dari kalian melangkahi pembelian sebagian lainnya, dan jadilah hamba-hamba Allah yang saling bersaudara. Seorang muslim adalah saudara orang muslim lainnya, tidaklah ia menzalimi saudaranya, dan tidaklah ia membiarkannya dianiaya orang lain, dan tidaklah ia menghinanya.”[1]
Pengaruh Gharar (Ketidakjelasan Status) Jual Beli dalam Syari’at Islam
Diantara metode Islam guna mewujudkan misi di atas ialah dengan melarang setiap akad jual beli yang mengandung unsur gharar (ketidakjelasan status). Para ulama menegaskan bahwa ketentuan ini juga berlaku pada berbagai akad yang semakna dengan jual beli. Sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu meriwayatkan:
أنَّ النَّبِي صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهىَ عَنْ بَيْعِ الْغَرَرِ
“Bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihgi wa sallam melarang jual beli gharar (tidak jelas statusnya).” [Riwayat Muslim hadits no. 3881]
Model perniagaan yang tercakup oleh hadits ini sangatlah banyak, bahkan tidak terhitung jumlahnya. Namun secara global, ketidakpastian pada suatu akad dapat diklasifikasikan ke dalam beberapa kelompok.
Al-Baji menjelaskan, “Bila hal ini telah diketahui dengan baik, maka ketahuilah bahwa gharar dapat terjadi dari tiga arah : akad, harga, atau barang yang diperjualbelikan dan tempo pembayaran atau penyerahan barang.”[2]
Ibnu Rusyd al-Maliki lebih terperinci menegaskan, “Diantara akad jual beli yang terlarang ialah berbagai jenis akad jual beli yang berpotensi menimbulkan kerugian pada orang lain, karena adanya ketidakjelasan status. Dan ketidakjelasan status dalam akad jual beli dapat ditemukan pada:
- Ketidakpastian dalam penentuan barang yang diperjualbelikan
- Ketidakpastian akad
- Ketidakpastian harga
- Ketidakpastian barang yang diperjualbelikan
- Ketidakpastian kadar harga atau barang
- Ketidakpastian tempo pembayaran atau penyerahan barang (bila pembayaran atau penyerahan barang ditunda)
- Ketidakpastian ada atau tidaknya barang, atau ketidakpastian apakah penjual kuasa menyerahkan barang yang ia jual
- Dan ketidakpastian utuh tidaknya barang yang diperjualbelikan.[3]
Tidak diragukan bahwa adanya ketidakpastian pada salah satu hal di atas rentan memicu terjadinya persengketaan dan permusuhan antara sesama muslim. Tentu syari’at Islam tidak menginginkan terjadinya perpecahan dan perselisihan semacam ini. Oleh karena itu, syari’at Islam menutup pintu ini, guna menjaga utuhnya persatuan dan terjaganya hubungan yang harmonis antara seluruh komponen umat Islam.
Ibnu Rusyd al-Maliki berkata, “Secara global, seluruh ulama ahli fiqih sepakat bahwa tidak dibenarkan adanya ketidakpastian (gharar) yang besar pada setiap akad jual beli. Sebagaimana mereka juga sepakat bahwa gharar yang kecil dimaafkan. Akan tetapi, para ulama berbeda pendapat dalam beberapa bentuk akad jual beli, apakah gharar yang terdapat padanya termasuk gharar yang besar sehingga terlarang atau termasuk yang kecil sehingga dimaafkan? Perbedaan itu terjadi dikarenakan gharar yang ada berada di tengah-tengah antara gharar yang besar dan ghoror yang kecil.”[4]
Penjelasan senada juga dipaparkan oleh al-Baji al-Maliki dalam kitabnya, al-Muntaqa (5/41).
Kadang kala sebagian gharar dimaafkan, terutama bila ada alasan yang dibenarkan. Contoh gharar yang dibenarkan, Anda dibolehkan membeli atau menjual rumah walaupun Anda atau pembeli tidak mengetahui fondasinya. Contoh lain, Anda dibolehkan membeli atau menjual kambing yang sedang bunting- sehingga dalam kambingnya terdapat susu- walaupun Anda tidak mengetahui seberapa kadar susu yang ada didalamnya. Yang demikian itu dikarenakan status dan hukum fondasi mengikuti bagian dari rumah agar fondasi rumah mengikuti bagian dari rumah yang tampak oleh penglihatan. Andai disyaratkan agar fondasi rumah diketahui oleh kedua pihak, pasti merepotkan mereka berdua. Demikian juga halnya dengan menjual hewan bunting yang telah mengeluarkan susu dari kambingnya.
Walau demikian, bukan berarti Anda bebas sesuka hati dalam membuat kesimpulan karena ternyata para ulama telah meletakkan kaidah yang jelas dalam menilai apakah gharar yang ada termasuk yang terlarang atau yang dimaafkan. Al-Imam al-Mawardi asy-Syafi’i rahimahullah memberikan pedoman kepada kita metode yang benar-benar bagus dan jelas dalam mengidentifikasi gharar yang ada pada suatu akad. Beliau berkata:
وَحَقِيْقَةُ الْغَرَرِ فَيْ الْبَيْعِ، مَا تَرَدَّدَ بَيْنَ جَائِزَيْنِ أَخْوَفُهُمَا أَغْلَبُهُمَا
“Hakikat gharar yang terlarang dalam akad jual beli ialah suatu keadaan yang memiliki dua kemungkinan, tetapi kemungkinan buruklah yang paling besar peluangnya.”[5]
Dan pada kesempatan lain beliau berkata:
الْغَرَرُ مَا تَرَدَّدَ بَيْنَ جَائِزَيْنِ عَلَىسَوَاءٍ، أَوْ بِتَرَجُّحِ اْلأَخْوَفِ مِنْهُمَا
“Gharar ialah suatu keadaan yang memiliki dua kemungkinan, dengan peluang yang sama-sama besar atau kemungkinan buruknya lebih besar peluangnya.”[6]
Dari keterangan al-Mawardi dan juga lainnya dapat disimpulkan bahwa batasan gharar yang terlarang dari yang dimaafkan ialah: Bila keadaan mengharuskan kita untuk mengesampingkan unsur gharar yang ada, dikarenakan gharar itu tidak mungkin untuk dihindari kecuali dengan mendatangkan hal-hal yang sangat menyusahkan, maka gharar yang demikian itu adanya dianggap gharar yang remeh, sehingga tidak mempengaruhi hukum jual beli. Sebaliknya, bila gharar itu dapat dihindarkan tanpa mendatangkan kesusahan yang besar, maka jual beli yang mengandung gharar menjadi terlarang alias batal.
Perselisihan para ulama pada sebagian akad yang ada kaitannya dengan masalah ini bersumber dari perbedaan mereka dalam menerapkan ketentuan ini. Sebagian mereka beranggapan bahwa unsur gharar yang terdapat pada akad itu adalah kecil, sehingga tidak layak untuk dipertimbangkan, dan hasilnya, akadnya pun dianggap sah. Sebaliknya, sebagian lainnya menganggap besar gharar itu, sehingga ia pun menganggap tidak sah akad itu. Wallahu A’lam.
Beberapa Contoh Nyata Akad yang Mengandung Unsur Gharar
1. Sistem Ijon
Diantara bentuk jual beli yang mengandung gharar dan yang nyata-nyata telah dilarang oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi was allam ialah jual beli dengan sistem ijon.
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الثَّمَرَةِ حَتَى تَزْهِىَ قَالُوا وَمَاتُزْهِىَ قَالَ تَحْمَرُّ فَقَالَ إِذَا مَنَعَ اللَّهُ الثَّمَرَةَ فَبِمَ تَسْتَحِلُّ مَالَ أَخِيْكَ؟
Dari sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan buah-buahan (hasil tanaman) hingga menua. Para Sahabat bertanya,” Apa maksudnya telah menua?” Beliau menjawab,”Bila telah berwarna merah.” Kemudian beliau bersabda,”Bila Allah menghalangi masa panen buah-buahan tersebut (gagal panen), maka dengan sebab apa engkau memakan harta saudaramu (uang pembeli)?”[7]
Dan pada riwayat lain sahabat Anas bin Malik Radhiyallahu anhu juga meriwayatkan:
أَنَّ النَّبِىَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ الْعِنَبِ حَتَّى يَسْوَدَّ وَعَنْ بَيْعِ الْحَبِّ حَتَّى يشْتَدَّ
“Bahwa Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang penjualan anggur hingga berbuah menjadi kehitam-hitaman, dan penjualan biji-bijian hingga mengeras.” [Riwayat Abu Dawud hadits no.3371]
Dengan demikian jelaslah bahwa sistem ijon adalah penjualan yang terlarang dalam syari’at Islam, baik sistem ijon yang hanya untuk sekali panen atau untuk berkali-kali hingga beberapa tahun lamanya.
2. Membeli Janin Hewan
Diantara bentuk jual beli yang mengandung unsur gharar sehingga terlarang dalam syari’at ialah memperjualbelikan janin hewan.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنْ بَيْعِ حَبَلِ الْحَبَلَةِ، وَكَانَ بَيْعًايَتَبَايَعُهُ أَهْلُ الْجَاهِلِيَّةِ، كَانَ الرَّجُلُ يَبْتَاعُ الْجَزُورَإِلَى أَنْ تُنْتَجَ النَّاقَةُ، ثُمَّ تُنْتَجُ الَّتِى فِى بَطْنِهَا
Sahabat Abdullah bin Umar Radhiyallahu anhu mengisahkan bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang jual beli janin (hewan) yang masih ada dalam perut induknya. Akad ini dahulu biasa dilakukan di zaman jahiliah. Dahulu seseorang membeli seekor unta, dan tempo penyerahannya ialah bila unta yang ia miliki telah melahirkan seekor anak, dan selanjutnya anaknya tersebut juga telah beranak.[8]
Para ulama pensyarah hadits ini menjelaskan bahwa jual beli gharar semacam ini dapat terwujud dalam dua model:
Model Pertama : Bila terlahirnya janin kedua ini dijadikan sebagai tempo pembayaran atau penyerahan barang yang dibeli, tentu ini adalah tempo yang tidak jelas karena bisa saja unta betina yang ia miliki tidak pernah bunting, dan kalaupun bunting bisa saja ia tidak pernah melahirkan janin betina. Dan kalaupun berhasil melahirkan janin betina, belum tentu janin tersebut bertahan hidup dan melahirkan janin, dan seterusnya.
Oleh karena itu, di antara etika hutang piutang yang seyogianya diindahkan oleh setiap muslim ialah senantiasa menentukan batas pembayaran atau penyerahan barang. Dengan demikian, tidak ada peluang untuk terjadinya persengketaan masalah waktu pelunasan atau penyerahan barang.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَىٰ أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. [Al-Baqarah/2:282]
Dan ketika Nabi Shallallahu ‘alaihgi wa sallam menjelaskan tentang akad pemesanan dengan pembayaran lunas di muka, atau yang disebut dengan akad salam, beliau bersabda:
مَنْ أَسْلَفَ فِى شَيْ ءٍ فَفِي كَيْلِ مَعْلُوْمٍ وَوَزْنٍ مَعْلُومٍ إِلَى أَجَلٍ مَعلُومٍ
“Barang siapa yang memesan sesuatu, maka hendaknya ia memesan dalam jumlah takaran yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan dalam timbangan yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak), dan hingga tempo yang telah diketahui (oleh kedua belah pihak) pula.”[9]
Model Kedua : Bila yang dijadikan objek jual beli ialah janin yang akan dilahirkan oleh janin yang sekarang masih berada dalam perut induknya. Tentu ini gharar yang besar karena barang yang dijadikan objek akad jual beli tidak jelas. Bisa saja janin tersebut mati sebelum terlahirkan, dan kalaupun terlahirkan, bisa saja terlahirkan dalam keadaan cacat, atau ternyata berkelamin jantan, dan seterusnya.
Akad jual beli seperti ini masih didapati pada sebagian masyarakat di negeri kita, terutama pada para pemilik kuda pacuan, sapi jenis tertentu di sebagian daerah.
3. Jual Beli Mulamasah dan Munabadzah
Diantara akad yang mengandung unsur gharar ialah akad melamasah dan munabadzah, sehingga keduanya termasuk akad yang diharamkan.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَهَى عَنِ الْمُلاَ مَسَةِ وَالْمُنَا بَذَةِ
Dari sahabat Abu Hurairah Radhiyallahu anhu ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari penjualan dengan cara mulamasah (hanya dengan cara saling menyentuh) dan dengan cara munabadzah (saling melempar).”[10]
Yang dimaksud dengan penjualan dengan cara mulamasah ialah seperti yang disebutkan oleh sahabat Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berikut:
وَالْمُلاَمَسَةُ لَمْسُ الثَّوْبِ لاَ يَنْطُرُ إِلَيْهِ، وَفَيْ رِوَايَةٍ : أَمَّا أَلْمُلاَ مَسَةُ فَأَنْ يَلْمِسَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَؤْبَ صَاحِبِهِ بِغَيْرِ تَأَمُّلٍ
“Mulamasah ialah (berjual beli dengan hanya) menyentuh baju tanpa melihatnya.” Dan pada riwayat lain: “Adapun mulamasah ialah masing-masing dari penjual dan pembeli hanya menyentuh pakaian milik lawan transaksinya tanpa diamati.”[11]
Adapun penjualan dengan cara munabadzah ialah seperti yang ditafsiri oleh Abu Sa’id al-Khudri Radhiyallahu anhu berikut ini:
وَالْمُنَابَذَةُ أَنْ يَنْبِذَ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا ثَؤْبَهُ إِلَى اْلآخَرِ وَلَمْ يَنْظُرْ وَاحِدٌ مِنْهُمَا إِلَى ثَؤْبِ صَاحِبِهِ
“Dan munabadzah ialah masing-masing dari keduanya saling melemparkan pakainnya kepada lawan transaksinya, dan keduanya tidak melihat dengan seksama pakaian lawan transaksinya tersebut.”[12]
Ibnu Hajar al-Asqalani rahimahullah setelah menyebutkan penafsiran tentang kedua bentuk akad ini mengatakan, “Tentu ini termasuk dalam perjudian.”[13]
Mungkin Saudara akan bertanya-tanya, “Mungkinkah pada zaman sekarang akad semacam ini masih bisa terjadi, karena penerangan telah begitu mudah didapat?”
Benar, akad semacam ini masih mungkin terjadi, sebagai salah satu contohnya ialah apa yang dilakukan oleh para pedagang pakaian bekas. Mereka membeli pakaian dalam jumlah besar yang dibungkus. Dan mereka membeli dengan hitungan per bungkus, padahal di dalam bungkus tersebut terdapat berbagai jenis pakaian, ada yang masih bagus, ada yang jelek, dan seterusnya.
4. Menjual Barang yang Belum Menjadi Miliknya
Diantara bentuk akad penjualan yang terlarang karena mengandung gharar ialah menjual barang yang belum menjadi milik penjual. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنْ حَكِيْمِ بْنِ حِزَامٍ قَالَ سَاَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ يَاْ تِيْنِي الرَّجُلُ فَيَسْأَلُنِى الْبَيْعِ لَيْسَ عِنْدِي أَبِيْعُهُ مِنْهُ ثَمَّ أَبْتَاعُهُ لَهُ مِنْ السُّوقِ قَالَ لاَتَنِعْ مَا لَيْسَ عِنْدَكَ
Dari sahabat Hakim bin Hizam Radhiyallahu anhu ia mengisahkan, “Aku pernah bertanya kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam “Wahai Rasulullah, ada sebagian orang yang datang kepadaku, lalu ia meminta agar aku menjual kepadanya barang yang belum aku miliki, dengan terlebih dahulu aku membelinya dari pasar? “Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, “janganlah engkau menjual sesuatu yang tidak ada padamu.”[14]
Diantara salah satu bentuk dari menjual barang yang belum menjadi milik kita ialah menjual barang yang belum sepenuhnya diserahterimakan kepada kita, walaupun barang itu telah kita beli, dan mungkin saja pembayaran telah lunas. Larangan (pengaharaman) ini berdasarkan sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَنْ ابْنِ عَبَّا سٍ قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنِ ابْتَاعَ طَعَامَا فَلاَ يَبِعْهُ حَتَّى يَقْبِضَهُ زَادَأبو بَكْرٍ قَالَ ابْنُ عَبَّا سٍ وَأَحْسِبُ كُلَّ شَيْءٍ بِمَنْزِلَةِ الطَّعَامِ
Dari sahabat Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ia menuturkan, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Barang siapa yang membeli bahan makanan, maka janganlah ia menjualnya kembali hingga ia selesai menerimanya.’”Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu berkata, “Dan saya berpendapat bahwa segala sesuatu hukumnya seperti bahan makanan.”[15]
Pemahaman Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ini riwayat Zaid bin Tsabit Radhiyallahu anhu, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut: Dari sahabat Ibnu Umar Radhiyallah anhuma ia mengisahkan, “Pada suatu saat saya membeli minyak di pasar, dan ketika saya telah selesai membelinya, ada seorang lelaki yang menemui saya dan menawar minyak tersebut, kemudian ia memberi saya keuntungan yang cukup banyak. Saya pun hendak menyalami tangannya (guna menerima tawaran dari orang tersebut), namun tiba-tiba ada seseorang dari belakang saya yang memegang lengan saya. Saya pun menoleh, dan ternyata ia adalah Zaid bin Tsabit, kemudian ia berkata,’Janganlah engkau jual minyak itu di tempat engkau membelinya hingga engkau pindahkan ke tempatmu, karena Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang dari menjual kembali barang di tempat barang tersebut dibeli, hingga barang tersebut dipindahkan oleh para pedagang ke tempat mereka masing-masing.’”[16]
Para ulama menyebutkan hikmah dari larangan ini, di antaranya ialah karena barang yang belum diterimakan kepada pembeli bisa saja batal, karena suatu sebab, misalnya barang tersebut hancur terbakar, atau rusak terkena air, dan lain-lain, sehingga ketika ia telah menjualnyua kembali ia tidak dapat menyerahkannya kepada pembeli kedua tersebut.
Hikmah kedua, seperti yang dinyatakan oleh Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ketika muridnya yaitu Thawus mempertanyakan sebab larangan ini:
قُلْتُ لاِبْنِ عَبَّاسٍ كَيْفَ ذََاكَ قالَ ذّاكَ دَرَاهِمُ بِدَرَاهِمَ وَالطَّعَامُ مُرْجَأٌ
“Saya bertanya kepada Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu ‘Bagaimana kok demikian?’ Ia menjawab, ‘Itu karena sebenarnya yang terjadi adalah menjual dirham dengan dirham, sedangkan bahan makanannya ditunda.”[17]
Ibnu Hajar menjelaskan perkataan Ibnu Abbas Radhiyallahu anhu di atas sebagaimana berikut,”Bila seseorang membeli bahan makanan seharga 100 dinar-misalnya- dan ia telah membayarkan uang tersebut kepada penjual, sedangkan ia belum menerima bahan makanan yang ia beli, kemudian ia menjualnya kembali kepada orang lain seharga 120 dinar dan ia langsung menerima uang pembayaran tersebut, padahal bahan makanan masih tetap berada di penjual pertama, maka seakan-akan orang ini telah menjual (menukar) uang 100 dinar dengan harga 120 dinar. Dan berdasarkan penafsiran ini, maka larangan ini tidak hanya berlaku pada bahan makanan saja.”[18]
Penutup
Apa yang telah dipaparkan diatas, semoga memperlebar sudut pandang Anda tentang metode perniagaan yang benar menurut syari’at. Dengan demikian, Anda dapat berniaga dengan baik dan benar. Wallohu A’lam bishshawab.
[Disalin dari Majalah Al-Furqon, Edisi 08, Tahun ke-10/Rabi’ul Awal 1432 (Feb – 2011. Diterbitkan Oleh Lajnah Dakwah Ma’had Al-Furqon Al-Islami, Alamat : Ma’had Al-Furqon, Srowo Sidayu Gresik Jatim]
_______
Footnote
[1] Riwayat al-Bukhari hadits no. 6065 dan Muslim hadits no. 6690
[2] al-Muntaqa. Karya. Al-Baji:5/41
[3] Bidayah al-Mujtahid: 2/148
[4] Bidayah al-Mujtahid: 2/154-155
[5] al-Hawi al-Kabir: 5/25
[6] al-Hawi al-Kabir:7/869
[7] Riwayat al-Bukhari hadits no. 1488 dan Muslim hadits no. 4061
[8] Riwayat al-Bukhari hadits no.2143 dan Muslim hadits no.3882
[9] Riwayat al-Bukhari hadits no. 2240 dan Muslim hadits no. 4202
[10] Riwayat al-Bukhari hadits no. 2146 dan Muslim hadits no. 3874
[11] Riwayat al-Bukhari hadits no. 2144 dan Muslim hadits no. 3879
[12] Riwayat al-Bukhari hadits no. 5820 dan Muslim hadits no. 3879
[13] Fath al-Bari: 4/359
[14] Riwayat Ahmad Abu Dawud hadits no. 3505
[15] Riwayat al-Bukhari hadits no 2132 dan Muslim hadits no. 3915
[16] Riwayat Abu Dawud hadits no. 3501. pada sanadnya ada Muhammad bin Ishaq, tetapi ia telah menyatakan dengan tegas bahwa ia mendengar langsung hadits ini dari gurunya, sebaagaimana hal ini dinyatakan dalam kitab al-Tahqiq. Baca Nasbu al-Rayah: 4/43, dan al-Tahqiq:2/181
[17] Riwayat al-Bukhori hadits no. 2132 dan Muslim hadits no. 3916
[18] Fath al-Bari kar. Ibnu Hajar al-Asqalani: 4/348-349
Artikel asli: https://almanhaj.or.id/41667-kejelasan-status-dalam-jual-beli-2.html